Opini  

Premanisme dalam Pesta Demokrasi

Muhamad Jafar

OPINI – Menjelang Pilkada 2024, berbagai manuver dan strategi yang dilakukan oleh para calon kepala daerah mulai terlihat dengan jelas. Para kontestan dalam Pilkada, baik petahana maupun calon baru, tak henti-hentinya sibuk merancang strategi dan menyiapkan “amunisi” yang tepat untuk merebut hati pemilih. Setiap calon berlomba-lomba memanfaatkan berbagai cara agar dapat meraih dukungan sebanyak-banyaknya. Dalam upaya ini, salah satu strategi yang sering digunakan oleh para kandidat dalam kontestasi politik adalah melibatkan kelompok-kelompok tertentu, termasuk menggunakan premanisme sebagai alat untuk mempengaruhi atau mengamankan basis massa mereka.

Dalam beberapa dekade terakhir, pesta demokrasi di Kabupaten Muna, seperti di banyak daerah lainnya, telah menyaksikan adanya fenomena yang mengkhawatirkan: keterlibatan premanisme dalam struktur strategi politik yang dibangun oleh para calon kontestan. Premanisme, yang seharusnya tidak memiliki tempat dalam sebuah sistem demokrasi, justru sering kali menjadi alat yang digunakan untuk meraih kekuasaan.

Secara etimologis ‘premanisme’ diambil dari kosakata Belanda virjeman atau Inggris free (bebas) dan man (lelaki atau orang) yang terjemahannya orang bebas, tidak terikat. Semula freeman ini berkonotasi positif, diperuntukkan kepada orang-orang yang hidup secara bebas (merdeka), tidak pegawai negeri, juga tidak terikat dengan struktur apa pun, namun tidak mengganggu atau menyusahkan kehidupan orang lain.

Sedangkan isme adalah faham (aliran/ajaran). Jadi premanisme dimaksudkan kepada gerakan orang-orang bebas (merdeka) yang tidak mau terikat dengan aturan-aturan membosankan. Belakangan, sebutan freeman berubah makna lebih ditujukan kekonotasi negatif. Pelafalan freeman pun berubah jadi preman, yang maknanya ditujukan kepada orang jalanan yang hidup sesuka hati tanpa aturan.

Di Kabupaten Muna, fenomena ini tampak jelas dalam setiap momentum pemilihan, baik itu Pilkada, maupun Pemilu legislatif. Para calon kontestan, baik yang menjabat sebagai petahana maupun yang baru mencalonkan diri, kerap melibatkan kelompok-kelompok preman untuk memperkuat dukungan mereka. Salah satu strategi yang digunakan adalah dengan membentuk “Satuan Tugas” (Satgas) yang bertugas untuk menjaga dan mengamankan basis massa di tingkat kelurahan, jalan, hingga lorong-lorong yang menjadi tempat tinggal mayoritas pemilih.

Namun, yang lebih mencolok adalah fakta bahwa dalam struktur Satgas ini, peran penting sering kali diberikan kepada orang-orang yang disegani atau bahkan dikenal sebagai preman setempat. Mereka yang memiliki kekuatan sosial, pengaruh, dan bisa mendatangkan rasa takut kepada masyarakat, dipilih untuk mengisi posisi strategis sebagai ketua Satgas dan ketua kordinator wilayah.

Tugas mereka bukan hanya mengamankan suara, tetapi juga menggerakkan massa dan memastikan bahwa pemilih tidak berpaling atau terpengaruh oleh pesaing politik. Bahkan, dalam beberapa kasus, kelompok-kelompok ini tidak segan-segan menggunakan kekerasan atau ancaman untuk memastikan hasil pemilu yang menguntungkan bagi kandidat tertentu. Dalam sebuah wawancara online, Putra Azari, seorang warga yang aktif di lingkungannya, mengungkapkan bahwa perbedaan pilihan politik sering kali menimbulkan tekanan dan intimidasi yang dilontarkan oleh senior/orang yang di segani di wilayah tersebut.

 Penggunaan premanisme dalam struktur ini memiliki dampak yang besar terhadap jalannya demokrasi di Kabupaten Muna. Di satu sisi, ia memberikan keuntungan politik bagi mereka yang mampu mengendalikan kelompok preman, namun di sisi lain, hal ini menciptakan ketidakadilan dan merusak esensi dari pemilu yang seharusnya bebas, adil, dan transparan. Ketika suara rakyat dibeli atau dipaksakan dengan cara-cara yang tidak sah, maka kedaulatan rakyat yang seharusnya menjadi dasar dari demokrasi menjadi hilang.

 Tentu saja, fenomena ini bukan tanpa alasan. Dalam daerah-daerah dengan tingkat polarisasi tinggi atau yang memiliki sejarah ketegangan sosial-politik, kelompok preman sering kali dianggap sebagai alat yang efektif untuk memobilisasi massa. Ketimpangan sosial dan ekonomi, serta ketidakpuasan terhadap elit politik yang ada, seringkali membuat warga di tingkat bawah lebih mudah dipengaruhi oleh kekuatan yang menawarkan keamanan atau pengaruh langsung dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Namun, meskipun kelompok-kelompok preman ini mungkin dianggap efektif dalam memenangkan suara di tingkat lokal, dampaknya sangat merugikan. Mereka tidak hanya mengancam kebebasan memilih masyarakat, tetapi juga memperburuk ketegangan sosial yang sudah ada. Dalam banyak kasus, premanisme ini mengarah pada kekerasan politik, intimidasi, dan bahkan pengucilan terhadap mereka yang tidak mendukung calon tertentu. Ini bukanlah pesta demokrasi yang sehat, melainkan sebuah proses yang tercemar oleh kekuatan-kekuatan gelap yang merusak integritas pemilu.

Penulis : Muhammad Jafar
Mahasiswa Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Example 728x250