OPINI – Delapan puluh tahun sudah Indonesia merdeka, kita diperhadapkan dengan fenomena berkibarnya bendera bajak laut One Piece di beberapa tempat. Hal ini menandakan ada semacam bentuk ekspresi yang ingin disampaikan dalam bentuk protes, perlawanan maupun keresahan dalam melihat kondisi bangsa yang tengah terjadi saat ini. Terlepas dari makna aslinya sebagai simbol perlawanan dalam serial One Piece, fenomena ini memunculkan beragam pertanyaan: apakah sekadar bentuk kreativitas budaya pop semata, tren viral tanpa nilai, ikut-ikutan, atau justru sebagai cerminan kritik terhadap kondisi bangsa saat ini.
Menelisik ke belakang dalam rentang waktu yang sebenarnya tidak terlalu jauh, kita menyaksikan kasus korupsi yang makin ramai dan nilainya terus-terus membesar sampai sulit diungkapkan dengan kata-kata. Jumlah uang yang dikorupsi sulit dibayangkan karena saking terlalu besarnya. Orang-orang yang terlibat didalamnya pun tergolong yang berpendidikan dan secara umur juga masih relatif muda.
Kasus korupsi tata niaga timah yang terjadi pada PT Timah Tbk yang merugikan negara 300 triliun misalnya, itu sungguh diluar nalar tak terbayang nilainya. Selain itu, dari kasus tata kelola minyak mentah Pertamina yang menyeret mantan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Kejaksaan Agung menyebut kerugian negara akibat korupsi tersebut mencapai 194 triliun. Belum lagi temuan PPATK menemukan Bansos salah sasaran, bahkan adanya pegawai BUMN yang terindikasi menerima dana dari Bansos tersebut.
Bupati Kolaka Timur Sulawesi Tenggara yang ditangkap KPK beberapa hari yang lalu itu secara umur masih tergolong muda. Itu artinya bahwa korupsi tidak mengenal usia, tidak mengenal tingkat pendidikan, tidak mengenal generasi muda atau tua. Kasus korupsi seolah menegaskan bahwa sebagian elite politik atau kelompok lebih sibuk berburu “harta karun” seperti dalam serial One Piece ketimbang mengibarkan nilai-nilai integritas.
Di satu sisi, bangsa ini juga dihadapkan pada dinamika yang menurunkan kepercayaan publik. Aksi demonstrasi warga terhadap Bupati Pati beberapa hari yang lalu menggambarkan ketidakpuasan warga terhadap kepemimpinan daerah. Hal serupa juga tampak dalam sektor pertambangan, dimana sengkarut pengelolaan izin tambang yang bermasalah, tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga memaksa masyarakat harus berhadapan dengan pihak korporasi karena lahan-lahan mereka telah dicaplok masuk ke dalam IUP. Belum lagi akses pendidikan yang masih sulit diakses oleh sebagian kalangan masyarakat kecil. Selain itu, data yang dirilis BPS pada Maret 2025 mencatat tingkat kemiskinan kita berada pada angka 8,47%, dengan jumlah penduduk miskin masih sekitar 23,85 juta jiwa.
Gambaran fenomena yang terjadi di atas menunjukan bahwa rasanya agak sulit kita bisa mencapai Visi Indonesia Emas 2045 menuju kemerdekaan satu abad, sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045. Mengapa demikian? Sebab kondisi yang terjadi hari ini adalah warisan perjuangan generasi sebelumnya. Jika ingin melihat wajah masa depan, maka cukup kita lihat usaha yang kita kerjakan hari ini.
Misi transformasi sosial perwujudan Visi Indonesia Emas 2045, misalnya seperti menghadirkan manusia Indonesia yang sejahtera, adaptif, berakhlak mulia, berbudaya maju, unggul, dan berdaya saing sangatlah kontras dengan kenyataan yang ada saat ini. Kalau mau menilai sekarang, kita harus melihat kebelakang satu generasi, karena dari sanalah lahir generasi baru yang adil dan membawa nilai-nilai positif. Jadi, jika kita sekarang melihat itu tidak ada, maka sulit membayangkan kondisi 20 tahun kedepan. Pada akhirnya, kita tidak bisa menolak kenyataan itu, dan terpaksa harus menerimanya sebagai sebuah kenyataan.
Menarik kiranya untuk merenungkan kembali pendar-pendar kilatan cahaya narasi dari sang maestro guru bangsa, Prof. Nurcholish Madjid (Cak Nur) untuk menyelesaikan gejala kritis diatas. Beliau menyarankan bagaimana kita sekarang melihat kedepan kalau keteladanan itu memang kita tidak temukan sekarang dan tidak bisa dijadikan sebagai bahan rujukan. Kita lihat kedepan, bagaimana menyelamatkan generasi mendatang.
Dalam Dialog Keterbukaan, Cak Nur menegaskan, “Persoalan masa depan, maka yang pertama kali dituntut kesadarannya atas hal ini adalah generasi muda. Bagaimana mereka membiasakan diri untuk melihat masa depannya lebih jauh, untuk tidak terpedaya, terpukau oleh persoalan kekuasaan.” Beliau sangat menekankan pentingnya human investment sebagai tanaman kemanusiaan untuk bisa dipanen dalam satu generasi, yaitu sekitar 20 tahun kedepan. Jika tidak atau gagal, maka satu generasi yang akan datang tidak terjadi kemajuan bangsa dan negara seperti yang dicita-citakan dalam visi Indonesia Emas 2045.
Tantangan yang dihadapi bangsa, khususnya generasi muda, menuju satu abad kemerdekaan, akan semakin besar seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, inovasi, dan komersialisasi (IPTEKINKOM). Jenis pekerjaan baru yang diperkirakan akan tumbuh antara lain pekerjaan berbasis teknologi tinggi, pekerjaan di ranah virtual seperti metaverse, serta pekerjaan yang fleksibel dengan tingkat mobilitas tinggi. Perkembangan teknologi digital seperti Internet of Things (IoT), blockchain, hyper connection, artificial intelligence (AI), metaverse, dan quantum computing akan mengubah cara pandang masyarakat, sekaligus melahirkan budaya baru yang mungkin berbeda dari sebelumnya.
Untuk menghadapi tantangan zaman itu, kemerdekaan sejak hati dan kemandirian dalam berpikir perlu terus ditumbuhkan. Merdeka sejak hati berarti bebas dari keserakahan, memiliki hati yang terbuka menerima perbedaan, menjalani kebebasan yang betanggung jawab, serta terbebas dari setiap bentuk pemaksaan. Sementara itu, mandiri sejak pikiran memiliki pikiran kritis dan tidak mudah terpengaruh oleh doktrin atau tren sesaat. Kemandirian ini tercermin dalam kemampuan memilah hiburan tanpa menyingkirkan identitas nasional, tidak latah mengikuti simbol budaya pop, menjaga diri dari pengaruh hoaks, serta tidak mencari keuntungan pribadi dengan merugikan rakyat.
Dalam perjalanan panjang bangsa, kemerdekaan tanpa kemandirian ibarat oase semu yang cepat menguap di tengah padang pasir, terlihat indah dari kejauhan, tetapi tak memberi kehidupan ketika didekati. Sesungguhnya, kemandirian adalah esensi dari kemerdekaan itu sendiri; tanpa kemandirian, kemerdekaan tak bermakna. Hanya dengan kemerdekaan hati dan kemandirian pikiran, kita dapat menapaki jalan menuju oase kemerdekaan yang sejati. Kita bukan berburu One Piece, tapi mengibarkan Merah Putih. Selamat Ulang Tahun Ke-80 Republik Indonesia. (Syahrul, dibawah kaki langit tamaddun Indonesia)
Penulis adalah mantan Ketua HMI Komisariat Teknik UNDIP dan Pengurus DPD IKA UNDIP SULTRA