IJTI Sultra Kecam Tindakan Kekerasan Ajudan Gubernur Sultra terhadap Jurnalis Metro TV

 

Ini tampang ajudan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) mengenakan masker berwarna hitam saat menghalangi jurnalis wawancara Gubernur Andi Sumangerukka.

KENDARI, SANGIASULTRA.ID – Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sulawesi Tenggara mengecam keras tindakan kekerasan yang dilakukan ajudan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) terhadap seorang wartawan bernama Fadli (Jurnalis Metro TV) saat wawancara klarifikasi seputar pelantikan mantan narapidana korupsi Aswad Mukmin sebagai kepala seksi di lingkungan Dinas Cipta Karya Pemprov Sultra.

Peristiwa kekerasan terhadap jurnalis mencerminkan bentuk penghalangan kerja-kerja jurnalistik dan menjadi ancaman terhadap kebebasan pers yang dijamin oleh undang-undang.

Kejadian bermula ketika Fadli bersama beberapa wartawan, di antaranya Andi May (SCTV Kendari), Akbar Fua (Liputan6.com), Krismawan (Indosultra.com), dan Ahmad (Nawalamedia) berada di Aula Bahteramas kantor Gubernur Sultra menghadiri penyerahan bantuan KUR terhadap 800 ribu pelaku UMKM yang diikuti secara virtual, Selasa, 21 Oktober 2025 sore.

Usai kegiatan berlangsung, Fadli dan beberapa wartawan bersiap melakukan wawancara doorstop di depan pintu keluar Aula Bahteramas. Gubernur Sultra menghampiri wartawan dan melayani sejumlah pertanyaan terkait penyaluran bantuan KUR yang juga diberikan kepada pelaku UMKM di Sultra.

Saat itu, wawancara berlangsung normal. Setelah tak ada lagi tanya jawab terkait UMKM, Fadli mengajukan pertanyaan terkait pelantikan pejabat eselon IV berstatus mantan terpidana koruptor yang dilantik oleh Gubernur Sultra sendiri.

Menurut penuturan Fadli, awalnya Gubernur Sultra merespons santai dan sempat tertawa kecil, serta kelihatan ingin menjawab pertanyaan itu. Tiba-tiba, dua ajudan gubernur datang dan mendorong Fadli menjauh dari Gubernur Andi Sumangerukka.

“Tiba-tiba ajudan datang, mendorong saya agar menjauh dari gubernur. Sejurus dengan itu, datang lagi satu ajudan lain berambut gondrong dan bermasker hitam juga ikut menghalangi dan melarang kami melanjutkan wawancara,” terang Fadli.

Ketika mencoba kembali mendekat dan merangsek mendekati Gubernur Andi Sumangerukka untuk wawancara, ajudan tersebut terus mendorong bahkan memukul ponsel yang digunakan meliput.

“Saya bilang, kenapa halangi saya?. Tapi ajudan itu menjawab, “sudah cukup”. Gubernur sore itu langsung pergi seolah hanya membiarkan ajudannya menghalang-halangi saya,” katanya.

Insiden ini terjadi di hadapan sejumlah wartawan lain yang juga menyaksikan bagaimana upaya klarifikasi Fadli terkait pelantikan mantan koruptor tiba-tiba dihentikan secara paksa. Meski situasi tidak berlanjut ke kekerasan lebih jauh, IJTI Sultra menilai hal tersebut merupakan bentuk tekanan yang tidak seharusnya terjadi dalam ruang demokrasi dan kerja-kerja pers.

Ketua IJTI Sultra Saharuddin menegaskan
bahwa tindakan semacam ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menjamin kemerdekaan pers dan melindungi jurnalis dalam menjalankan tugas profesionalnya.

Saharuddin juga mendesak pihak-pihak yang terlibat, termasuk pejabat publik dan aparat pengamanan di lingkungan mereka, untuk menghormati kerja-kerja jurnalis serta tidak menggunakan intimidasi, baik verbal maupun fisik, dalam situasi apapun.

“IJTI juga mengimbau kepada para jurnalis untuk tetap menjaga profesionalitas serta melaporkan setiap bentuk kekerasan atau intimidasi yang dialami di lapangan,” ungkapnya.

Sehubungan dengan kejadian tersebut, lanjut dia, IJTI Sultra menyatakan sikap dan mengecam keras segala bentuk intimidasi verbal dan fisik yang dilakukan oleh ajudan Gubernur Andi Sumangerukka terhadap jurnalis. Tindakan ini merupakan bentuk penghalangan terhadap kebebasan pers sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Selain itu, kata dia, menuntut permintaan maaf terbuka dari Andi Sumangerukka selaku pihak yang bertanggung jawab atas tim ajudan yang bertindak represif terhadap jurnalis. Permintaan maaf ini penting sebagai bentuk tanggung jawab moral dan politik kepada publik.

“Kami mendesak dilakukan evaluasi terhadap standar etika dan sikap ajudan publik terhadap jurnalis di lapangan, termasuk memberikan sanksi kepada oknum yang terlibat,” tutur pria yang akrab disapa Bang Sahar itu.

IJTI juga mengimbau seluruh pejabat publik, tokoh politik, dan aparatur keamanan untuk memahami dan menghormati kerja-kerja jurnalistik sebagai bagian dari demokrasi. Jurnalis bukan musuh, tetapi mitra dalam menyediakan informasi bagi masyarakat.

“Kami mengajak seluruh media, organisasi profesi jurnalis, dan masyarakat sipil untuk mengawal kasus ini dan tidak membiarkannya berlalu tanpa tindak lanjut,” pungkasnya.

Penulis : Yono

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Example 728x250