Pernyataan Sikap PGRI Muna Barat Terhadap Kriminalisasi Guru Supriyani

Pengurus PGRI Kabupaten Muna Barat menyatakan sikap

MUNA BARAT, SANGIASULTRA.ID – Soal kasus hukum yang menimpa Supriyani, seorang guru honorer di Kecamatan Baito, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra) telah menarik perhatian publik.

Pasalnya, Supriyani telah dilaporkan ke Polsek Baito, Kabupaten Konawe Selatan pada 26 April 2024 atas dugaan penganiayaan terhadap anak muridnya yang baru duduk di bangku Kelas 1 sekolah dasar. Pelapor dalam hal ini adalah ibu korban bernama Nurfitriana yang juga istri dari Kanit Intelkam Polsek Baito, Aipda Wibowo Hasyim.

Namun, dalam proses hukum yang dialami oleh Supryani, terkesan janggal dan mengundang banyak pertanyaan publik. Mulai dari alat bukti dugaan penganiayaan, hingga proses hukum yang terkesan dipaksakan.

Sehingga, patut diduga, kasus yang menimpa Ibu Supriyani adalah bentuk kriminalisasi dan rekayasa. Sebab, berdasarkan keterangan dari guru maupun kepala sekolah di SDN 04 Baito, sama sekali tidak melihat peristiwa penganiayaan seperti yang disangkakan oleh polisi.

Penyidik Polsek Baito hanya dikuatkan oleh keterangan saksi anak yang sempat berubah-ubah. Awalnya mengaku terjatuh di sawah, lalu berubah karena dipukul menggunakan gagang sapu oleh Supriyani. Dalam perkara ini juga, polisi mengklaim telah memenuhi minimal dua alat bukti untuk menaikan status Supriyani sebagai tersangka. Yakni, sapu ijuk, celana, dan hasil visum berupa luka di kedua betis korban.

Benar bahwa, dalam penanganan kasus ini, pihak Polsek Baito juga beberapa kali melakukan mediasi antara pelapor dan terlapor. Namun, tidak ada titik temu dalam mediasi tersebut. Sebab, dalam mediasi itu, Ibu Supriyani cenderung dipaksa mengakui perbuatannya yang berdasarkan saksi guru dan kepala sekolah tidak pernah dilakukannya.

Kasus yang menimpa Supriyani itu kini menjadi perhatian publik, tidak terkecuali Pengurus Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kabupaten Muna Barat (Mubar).

Melihat kasus yang ditimpa  guru honorer itu, PGRI Mubar  angkat bicara dan langsung melakukan pernyataan sikap terhadap dugaan Kriminalisasi guru Supriyani.

Ketua PGRI Mubar, Al Rahman menilai kasus hukum yang dialami Supriyani di Konsel diduga merupakan bentuk kriminalisasi dan ada upaya pemerasan.

Untuk itu, dirinya dan seluruh Pengurus PGRI Kabupaten Muna Barat langsung melakukan pernyataan sikap. Pertama yaitu meminta Kapolri, dan Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tenggara untuk melakukan atensi khusus kepada Kepolisian Resor (Polres) Konawe Selatan dan Polsek Baito. Sebab, proses penanganan kasus Ibu Supriyani diduga dipaksakan.

“Mulai dari keterpenuhan alat bukti dan saksi, hasil visum yang janggal terhadap luka yang dialami oleh korban akibat pukulan menggunakan gagang sapu. Termasuk, hasil gelar perkara kasus ini di tingkat Polsek Baito sebelum penetapan Ibu Supriyani sebagai tersangka,” tegas Al Rahman melalui pres rilisnya. 22 Oktober 2024.

Kedua, Jika dalam penanganan kasus hukum Ibu Supriyani ditemukan dugaan pelanggaran dan upaya kriminalisasi serta dugaan pemerasan, maka pihak-pihak yang terlibat mesti disanksi pencopotan dan pemeriksaan oleh Propam Polda Sultra.

Ketiga, Meminta Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tenggara dan terkhusus Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Negeri Konawe Selatan untuk membuka kepada publik tentang layaknya kasus ini dinyatakan lengkap atau P21. Sebab, dapat diduga, kasus ini terkesan dipaksakan.

“Kami mengapresiasi langkah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Andoolo yang menangguhkan penahanan Ibu Supriyani,” ucapnya.

Kemudian, dalam pernyataan sikap PGRI Mubar juga Meminta Majelis Hakim Pengadilan Negeri Andoolo agar dalam persidangan Ibu Supriyani dilakukan secara terbuka, transparan dan dapat disaksikan langsung oleh publik.

Selanjutnya meminta kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Andoolo untuk memutus perkara Ibu Supriyani secara adil dan berprikemanusiaan. Sebab, Ibu Supriyani statusnya guru honorer dengan gaji tidak seberapa serta memiliki anak yang masih balita.

“Kemudian mendorong adanya penerapan Undang-Undang Perlindungan terhadap Guru dalam kasus Ibu Supriyani,” pintanya.

Terakhir, apabila di kemudian hari terdapat tindakan guru yang dianggap melanggar hukum, maka diharapkan aparat kepolisian terkait dapat melakukan upaya penyelesaian restorative justice dan berkoordinasi dengan PGRI setempat dalam penegakan kode etik guru sesuai MoU POLRI dengan PGRI tentang Perlindungan Hukum bagi Profesi Guru.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Example 728x250