![]() |
Kondisi percetakan tambak di Desa Lasama, Kecamatan Tiworo Kepulauan, Kabupaten Muna Barat(Mubar). (Foto : Muhammad) |
MUNA BARAT, SANGIASULTRA.ID – Kabupaten Muna Barat (Mubar) adalah salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) yang memiliki kekayaan alam melimpah, salah satunya hutan mangrove.
Saban hari, tepatnya pada Sabtu, 13 Juli 2024, saya mulai menyusuri hutan mangrove yang ada diseluruh wilayah pesisir Muna Barat. Dibawa terik matahari, dengan menggunakan kendaraan roda dua besi tua saya, melihat beberapa tempat yang sudah berubah menjadi tambak dan adanya penambangan pasir.
Hutan mangrove tersebut tersebar dibibir pantai, mulai dari desa Latawe, Umba, Lahaji, Kecamatan Napano Kusambi. Kemudian menuju desa Tanjung Pinang, Kecamatan Kusambi, Desa Lasama, Kecamatan Tiworo Kepulauan sampai dengan Desa Barakka, Kecamatan Tiworo Selatan hingga di Kecamatan Maginti. Wilayah – wilayah tersebut dibentangi dengan hutan mangrove yang sangat luas dan dulunya masih lestari.
Seiring berjalanya waktu, hutan mangrove berubah drastis, yang dulunya rimbun, menghijau kini menjadi percetakan tambak. Bukan hanya itu, mangrove juga digunakan untuk pembangunan rumah warga, bahkan sebagian sudah menjadi pemukiman.
Melihat kondisi saat ini, hutan manggrove di Muna Barat sangat memprinhatinkan karena sudah dirusak oleh tangan – tangan manusia yang tidak bertanggung jawab.
Keberadaan pohon mangrove di pesisir pantai di Mubar itupun saat ini terancam punah. Hal itu disebabkan karena adanya aktivitas penambak yang kian menjamur. Selain pohon mangrove ditimbuni tanah, juga banyak yang ditebang. Kondisi itu terkesan dibiarkan tanpa adanya tindakan yang tegas dari pemerintah daerah setempat.
Salah satu warga Kecamatan Maginti, Arnas (30) mengaku, hutan mangrove sekarang sudah banyak dijadikan tambak. Seingat dia, mangrove yang ada diwilayah Maginti dan Tiworo Selatan ini dulunya masih rimbun.
“Sekarang tidak lagi, Sudah banyak dijadikan tambak. Dibagian barakka sana banyak yang ditebang, ditempat lain juga begitu saya liat,” kata Arnas saat ditemui.
Jurnalis sangiasultra.id mencoba cari tahu lebih dalam keberadaan mangrove itu dan mencoba mengunjungi pihak – pihak terkait, baik itu dari Dinas Kelautan dan Perikanan Mubar, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS), Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Mubar, Dosen Arekeolgi Mangrove, masyarakat, aktivis lingkungan, maupun dari pemilik tambak sendiri.
Terkait dengan dirusaknya mangrove di Mubar itu dibenarkan juga oleh Dosen Ekologi Manggrove Universitas Unipati, Ambon, Rahman.
Kepada jurnalis ini, Rahman mengaku pernah melakukan penelitian sejak tahun 2017 soal mangrove di Mubar. Dia melakukan penelitian bersama rekan timnya.
Dalam penelitiannya, pria kelahiran 1991 asal pulau Maginti itu banyak menemukan persoalan hingga sampai terus berkurang tiap tahunya.
Berdasrkan data tahun 2017, Rahman bilang, luas mangrove di Muna Barat kurang lebih 5.000 hektare. Hanya saja, kian tahun, luas mangrove terus berkurang karena sebagian dijadikan tambak oleh masyarakat setempat. Padahal, sebagai ekosistem pesisir, ada 10 jenis mangrove yang hidup tersebar di wilayah tersebut.
“2017 ada degradasi pembangunan tambak. ada sekitar 100 hektar di desa Kembar Maminasa, namun tidak dimanfaatkan dengan baik,” kata Rahman melalui sambungan telponya. Sabtu, 20 Juli 2024.
Pria jebolan Awardee LPDP program doktoral Institut Pertanian Bogor itu menyebut, penyebab utamanya sehingga mangrove berkurang karena adanya pemukiman, pembangunan akses jalan, penambang pasir dan secara khusus dengan adanya tambak tradisional yang merajalela.
“Kemudian di desa Tanjung Pinang itu karena adanya penambangan pasir, sehingga merusak mangrove,” jelasnya.
Menurutnya, terkait dengan adanya soal mangrove ini, pemerintah harus cepat mengambil langkah – langkah agar mangrove di Mubar bisa menjadi perhatian khusus untuk dilindungi dan bisa mengantisipasi agar tidak punah.
![]() |
Kondisi hutan mangrove berubah menjadi percetakan tambak |
Tidak hanya sampai disitu, persoalan mangrove di Mubar ini nampaknya masyarakat seenaknya melakukan pengrusakan. Hal ini dimulai sejak sebelum Muna Barat mekar dari Kabupten Muna. Diketahui Mubar pisah dari Muna induk yaitu sejak 2014 silam.
Berdasrkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Muna Barat, untuk luas percetakan tambak yang ada dikeseluruhan mangrove ada sekitar 1.150 hektar tambak.
Kepada jurnalis ini, Kepala Bidang Pengembangan Usaha Perikanan Budidaya di Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Muna Barat, Subakti menceritakan, sejak 2013 percetakan tambak sudah ada di wilayah hutan mangrove. Seingat Subakti, luas yang dirambah mangrove untuk dijadikan tambak ada sekitar 1.150 hektar.
“Yang diluar kawasan itu sekitar 100 hektar, kalau yang lainya semua sudah kawasan. Jadi itu masyarakat sendiri yang cetak, bukan kita yang fasilitasi. Dan adanya percetakan itu sebelum Muna Barat mekar,” jelas Subakti.
Bahkan, lanjut Subakti, beberapa lahan yang masuk dalam kawasan diklaim dan sudah disertifikatkan oleh masyarakat. Hal ini tentu menjadi ancaman serius dan pastikan saat ini di ambang kepunahan kalau pemerintah setempat tidak mengambil tindakan yang serius.
Subakti menyatakan, disekitar Desa Barakkah, Kecamatan Tiworo Selatan dan Desa Lakabu, Kecamatan Tiworo Tengah yang masuk kawasan mangrove telah mendapatkan sertifikat meskipun seharusnya kawasan tersebut tidak digunakan untuk tambak.
“Kami telah menanyakan ke BPN Muna Barat mengenai sertifikasi ini, dan mereka menyatakan bahwa semuanya telah ‘clear’,” katanya.
Meskipun wilayah hutan mangrove Muna Barat adalah masuk pengawasan Dinas Perikanan Provinsi Sultra, namun, pihak Pemda Mubar melalui DKP tidak akan menutup mata karena berada diwilayah tutorialnya. Setidaknya, bisa mengetahui kondisi yang ada.
Menurut hemat Subakti, sebagian mangrove ini, sebagian sudah digunakan masyarakat untuk pembangunan rumah.
Selain itu, pihak DKP juga selalu memberikan edukasi dan pembinaan terhadap masyarakat agar lebih memahami pentingnya melindungi mangrove sehingga tidak merusak ekosistem laut dan terjadinya erusi.
Hutan mangrove juga dapat melindungi pantai dari erosi karena mampu menghadang hempasan ombak secara langsung dan mengatasi banjir kawasan pesisir.
“Kita setiap kegiatan penyuluhan itu, kita melakukan pembinaan kelapangan dan kita sampaikan, silahkan kalian mencetak empang ini tetapi jangan ada yang didalam kawasan,” imbaunya.
Kondisi ini juga diakui oleh kepala Dinas Lingkungan Hidup,Mubar, La Edi.
La Edi mengaku, bahwa peran pemerintah dalam pengawasan hutan mangrove belum maksimal. Masalah ini terjadi karena persoalan kewenangan antara pemerintah daerah dan pemerintah provinsi.
Pemda Mubar, tidak punya kewenangan untuk membiayai pengawasan hutan mangrove karena masuk kewenangan Dinas Kehutanan Provinsi Sultra.
“Misalnya kita masukan program menekan alih fungsi itu, itu tidak bisa. Itu masalahnya, sehingga seolah-olah itu berjalan terus. Kalau misalnya kewenangan itu ada di Pemda, kita bisa godok aturan pengendaliannya, kemudian produk hukumnya. Tapikan lagi-lagi itu kewenangan Kehutanan Provinsi Sultra,” bebernya.
Upaya Rehabilitasi Mangrove
Kondisi mangrove di Mubar memang sangat sudah meresahkan masyarakat karena adanya penambak – penambak liar yang terus sering bermunculan. Hal ini dipicu karena jauh sebelumnya belum ada tindakan yang di ambil oleh pemerintah Muna Barat, bahkan pemerintah Provinsi yang memiliki wewenang.
Hanya saja, melihat kondis yang ada, upaya – upaya untuk melakukan rehabilitasi mangrove itu juga dilakukan. Misal, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS).
Sabtu, 20 Juli 2024, jurnalis ini mencoba mengunjungi BPDAS di Kendari, Provinsi Sultra.
Di BPDAS, saya ditemui langsung Kepala Seksi Rehabilidasi Hutan dan Lahan BPDAS, Charles.
Carles juga membenarkan soal adanya mangrove di Mubar. Kepada jurnalis ini membeberkan bahwa luas mangrove di “bumi praja laworoku” 2024 ini keseluruhan seluas 8.095 hektar.
Bahkan sepanjang pesisir pantai, dari luas 8.095 hektar itu banyak eksisting mangrove berkurang beralih fungsi menjadi tambak udang.
Dirinya juga tidak pungkiri, mangrove yang ada di Mubar sudah banyak dirusaki karena kebutuhan masyarakat seperti pembuatan akses jalan, pemukiman warga hingga adanya penambang pasir.
“Sudah tidak ada mangrove-nya sekarang, tapi dulu sempat ada. Jadi yang kita maksud hutan mangrove itu ada dua kategori yaitu mangrove eksisting (yang sudah ada mangrove-nya sampai sekarang) dan kawasan hutan mangrove yang sudah tidak ada mangrove-nya, tapi dulu pernah ada dan sekarang berubah menjadi tambak,” kata Carles.
Kendati demikian, pihak BPDAS sudah melakukan upaya – upaya dengan melakukan rehabilitasi dibeberapa wilayah mangrove yang tersebar di Mubar.
BPDAS menurunkan tim melakukan penghijauan dengan menanam kembali pohon mangrove. Carles menyebut bahwa penanaman bibit dimulai sejak tahun 2021 – 2024 yang tersebar dibeberapa desa, yakni desa Umba, Lahaji, Tasipi dan desa Kasakamu.
Bagi dia, upaya yang dilakukan itu adalah langkah kecil menuju pemulihan ekosistem yang telah lama mengalami kerusakan. Jelas kata dia, dengan adanya tambak atau yang berhubungan dengan rusaknya mangrove akan mengancam ekosistem laut.
“Kalau tahun 2024 ini kita menanam bibit mangrove seluas 10 hektar di Desa Tanjung Pinang. Jadi semuanya kalau dihitung dari tahun 2021 kita tanami bibit itu sudah 90 hektar,” ucapnya.
Carles bilang, jatah tiap tahunya untuk pembibitan itu hanya dapat 5 hektar. hal ini juga sama dengan daerah lain yang memiliki hutan mangrove di 17 Kabupten/kota di Sultra. Adapun yang menjadi kendala,kata dia, dengan adanya bibit itu persoalan anggaran.
“Kalau stok bibit itu ada. Hanya saja biaya untuk mau dibawa kesana yang menjadi kendala,” ucapnya.
Rusaknya Mangrove dan Kebutuhan Ekonomi Masyarakat
Melihat kondisi mangrove di Mubar berdasarkan penelusuran jurnalis ini, jelas menciptakan kontroversi antara kebutuhan ekonomi masyarakat dan perlindungan lingkungan hutan mangrove.
Beberapa wilayah mangrove yang sudah dijadikan tambak menjadi alasan masyarakat sebagai sumber pendapatan untuk kebutuhan hidup mereka.
Masyarakat pesisir Muna Barat sebagian bergantung pada tambak sehingga sudah menjadi sumber penghidupan. Tetapi, dilain sisi, pertumbuhan tambak yang tidak terkendali sering kali menyebabkan kerusakan pada hutan mangrove.
Seperti salah seorang petambak udang dari Desa Lasama, Hasan. Saat ditemui jurnalis ini, dirinya mengaku bahwa dengan adanya percetakan tambak udang ini bisa mencukupi kehidupan hari – harinya disaat panen tiba.
Hasan memahami pentingnya menjaga hutan bakau, tetapi, dilain sisi juga perlu mencari nafkah. Sehingga dengan tambak miliknya ini sangat membantu kebutuhan hidup bersma keluarganya.
Dirinya juga mengakui bahwa tambak yang diolah ini masuk dalam kawasan hutan bakau. Meskipun demikian, kekhawatiran dalam dirinya selalau ada karena dilain sisi belum memiliki sertifikat, dilain sisi juga masa depan mereka terancam ketika sudah tidak lagi budidaya tambak.
“Kami berharap ada solusi yang memungkinkan agar kami terus berusaha sambil tetap menjaga lingkungan. Kebutuhan hidup kami juga ada ditambak ini,” keluh Hasan dengan mata berkaca -kaca.
Pandangan Aktivis Lingkungan
Kondisi mangrove di Mubar juga ini menjadi sorotan dikalangan aktivis lingkungan yang ada di Sultra.
La Ode Dasa, salah satu aktivis lingkungan ini menyayangkan masih banyaknya mangrove yang rusak karena aktivitas ilegal di hutan lindung dan Daerah Aliran Sungai (DAS).
Menurutnya, hutan mangrove di Mubar sudah sepatutnya dilestarikan dan dilindungi karena merupakan salah satu mangrove terbesar di Sultra.
Jelas, kata dia, rusaknya beberapa ekosistem mangrove dapat berakibat fatal untuk lingkungan dan biota sekitarnya.
Beberapa dampak buruk yang menjadi kerusakan ekosistem mangrove yaitu akan terjadi penggundulan hutan mangrove sehingga mengganggu keseimbangan ekosistem ikan laut. Selain itu, kerusakan hutan mangrove yang menjadi habitat bagi plankton dan ikan berbagai jenis bisa mengganggu keseimbangan ekosistem. Wilayah pesisir lebih rentan terkena abrasi dan berkurangnya lahan hijau untuk daerah resapan air dan wisata.
“Jadi hutan bakau itu berfungsi sebagai pencegah abrasi dan hutan bakau itu berfungsi mencegah terjadinya erosi. Jadi mari kita lestarikan kekayaan alam kita ini, jangan malah dirusak. Mangrove ini aset kita yang harus dijaga, jangan sampai punah, Kasian anak cucu kita nanti,” ajaknya.
Terakhir, dirinya menyebut, ada ndang-undang dan peraturan yang mengatur perlindungan hutan mangrove di Indonesia melibatkan beberapa peraturan dasar. Beberapa di antaranya yaitu undang – undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan yang mengatur mengenai pengelolaan hutan, termasuk hutan mangrove. Dalam pasal 50 Undang-Undang (UU) Kehutanan, dan diatur masalah pidananya pada pasal 78 dengan ancaman 10 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar.
Penulis : Muhammad Nur Alim