MUNA BARAT, SANGIASULTRA.ID – Beberapa tahun terkahir ini, para petani di Kabupaten Muna Barat (Mubar), Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) beralih mengembangkan tanaman nilam.
Padahal, bisa dibilang Muna Barat merupakan penghasil komoditi jagung kuning, beras dan kelapa sawit.
Meski begitu, saat ini banyak petani di Mubar mulai meninggalkan perkebunan jagung atau lainya dan beralih ke perkebunan nilam.
Bukan tanpa alasan, harga nilam yang dibilang fantastis menjadi salah satu alasan para warga mulai meninggalkan tanaman lainya seperti jagung kuning dan kelapa sawit.
Kondisi ini hampir semua terjadi di tiga wilayah besar Mubar, banyak lahan – lahan tidur yang dimanfaatkan warga menjadi produktif untuk menanam nilam. Bahkan, lahan di pekarangan rumah warga pun dimanfaatkan untuk menanam nilam.
Dengan adanya budidaya nilam ini, perekonomian masyarakat meningkat, dibanding dengan petani jagung kondisi pasaran tidak menentu, bahkan sebagian petani mengeluh karena harga jagung turun drastis.
Salah satu warga Desa Kembar Maminasa, Kecamatan Maginti, Mardin mengaku saat ini dirinya fokus menanam nilam.
Beralihnya ke nilam karena saat panen tiba harganya tinggi hingga mencapai Rp 2,2 juta per kilo setelah disuling dan sangat membantu perekonomian dalam keluarganya.
“Alhamndulilah sangat membantu dan sangat mencukupi kebutuhan sehari – hari setelah fokus menanam nilam ini,” kata Mardin kepada jurnalis sangiasultra.id. Minggu, 2 Februari 2025.
Tanaman semak yang tumbuh subur di daerah tropis ini sudah menjadi aktivitas seluruh warga Desa Kembar Maminasa. Hampir semua masyarakat fokus berkebun nilam. Padahal sebelumnya, masyarakat setempat merupakan petani jagung dan kelapa sawit.
Kondisi ini berubah sekejab, setelah tanaman dengan nama ilmiah Pogostemon cablin ini mulai laku dipasaran. Perkebunan lainya pun ditinggalkan dan lebih memilih bertani nilam dibanding jagung.
Mardin bilang, dibandingkan dengan jagung, harga nilam lebih tinggi. Kendala masyarakat saat berkebun jagung adalah soal harga dipasaran tidak menentu.
“Hal ini karena persoalan harga jagung tidak jelas dan tidak ada yang tetap. Jadi masyarakat disini semua sudah beralih ke nilam. Ada juga masyarakat itu Sawitnya ditebang semua, terus dia tanamkan nilam,” terangnya.
Saat ini, Petani di wilayah Mubar tengah fokus menggarap lahan usahanya dengan menanam komoditi nilam. Banyak lahan – lahan tidur kembali diolah hanya untuk berkebun nilam.
Pasalnya, harga jual komoditi tersebut lagi prospek, yakni mencapai Rp 2,2 juta per kilo, adapun turun hanya bermain di kisaran Rp 1, 8 juta atau Rp 1, 7 juta. Dibandingkan dengan harga komoditi jagung yang hanya berkisar Rp 6000 hingga 3600 per kilogram, itupun harganya masih dimainkan tengkulak.
Hanya dengan durasi lima bulan, petani sudah bisa memanen komoditi nilam. Harga setelah panen, mereka dapat paling rendah Rp 30 juta dan paling tinggi Rp 100 juta lebih.
“Bersih itu, sudah keluar dari sulingan. Belum lagi petani nilam dadakan yang hanya menanam biasa dengan memanfaatkan lahan di kebun atau pekarangan rumahnya bisa dapat sampai 10 juta,” bebernya.
Sementara warga Napano Kusambi, Farit mengatakan, saat ini dirinya juga tengah budidaya nilam. Semua lahan kosong yang ditumbuhi rumput dan pohon sudah dibersihkan untuk diolah menjadi perkebunan nilam.
Selain itu, dirinya juga menjual bibit nilam dengan taksiran harga Rp 600 hingga Rp 700 per pohon.
“Masyarakat disini hampir semua menanam nilam. Kalau bibit nilam yang saya jual kadang dari Lawa turun ambil,” kata Farit.
Kondisi tanaman nilam ini terjadi juga di wilayah Kecamatan Lawa, Wadaga, Sawerigadi, Kusambi dan Tiworo Selatan. Hampir semua masyarakat memanfaatkan lahanya untuk menanam nilam.
Penulis : Muhammad